Lelah Hati

Sandy memperlambat laju motornya. Mencari-cari tempat beristirahat yang nyaman di pinggir danau Singkarak di tepi jalan raya Lintas Sumatera itu. Ia membelok ke kanan, menyeberang jalan dan memarkir motor. Persis di bawah sebatang pohon pelindung yang memiliki bangku tempat duduk terbuat dari bambu.

Nun di seberang danau di atas pebukitan ufuk langit barat. Mentari akan bersembunyi di balik perbukitan. Saat itu Sandy telah menurunkan dan menaruh tas ransel pakaian di ujung tempat duduk.

Kemudian mengedarkan pandangan ke kiri dan ke kanan permukaan danau yang luas dan berombak ditiup angin sore.

Sandy menarik nafas dalam-dalam. Kemudian menghempaskannya kuat-kuat. Sekadar menumpahkan lelah hati akibat keluh yang menyesak rongga dadanya.

Suasana mulai temaram saat Sandy mencoba merebahkan dan meluruskan tubuhnya di bangku panjang. Kepalanya persis di tas ransel pakaiannya.

Mentari sudah bersembunyi di balik pebukitan. Namun cahayanya masih membiaskan warna lembayung di langit yang diselimuti awan tipis.

Angin senja berhembus bersama riak danau yang menghempas ke tembok penyangga di sepanjang pinggir danau.

Kembali Sandy menghela nafas. Hatinya memang terlalu lelah. Lelah karena didera kesulitan dan tekanan hidup yang datang bertubi-tubi.

Langkah kakinya terasa semakin berat menyusuri jalan kehidupan ini. Berat menanggung beban dan deraan hidup.

Biaya dan kebutuhan hidup semakin tinggi dan menyesak dada. Orang-orang yang menjadi tanggungan hidupnya semakin membutuhkan biaya dan kebutuhan yang semakin besar.

Sementara pendapatan sebagai seorang aparatur sipil negara bukannya meningkat. Justru sebaliknya, penerimaan setiap bulannya semakin berkurang. Berkurang karena potongan ini...dan potongan itu. Belum lagi cicilan serta tagihan ini... dan itu, diluar kantor.

Di akhir pekan itu, Sandy memang sengaja memilih tempat dan pergi ke pinggir danau untuk merefresh suasana hati dan pikirannya. Pergi meninggalkan rumah tanpa rencana, tanpa memberitahu anak dan istrinya.

"Pak..., bangun pak, sudah malam...!" Sebuah suara membangunkan Sandy. Ia menggeliat sejenak. Lalu bangkit. Pria itu baru tersadar kalau tadi ia tertidur.

Sandy menoleh dan memperhatikan pemilik suara yang telah membangunkannya. Seorang anak muda namun wajahnya hanya terlihat samar-samar ketika diterpa cahaya dari lampu kendaraan yang berlalu lalang di jalan raya.

"Terima kasih sudah membangunkan saya, anak muda." ujar Sandy.

"Iya, pak. Bapak mau kemana?" tanya pemilik suara itu kemudian.

"Saya hanya mau ke tempat ini, sekadar melepas lelah hati dengan memandang suasana Danau Singkarak di sore hari." balas Sandy.

"Pantas tadi bapak tertidur karena terlalu lelah. Oh ya, pak. Saya pamit dulu," ujar anak muda itu seraya berlalu.***

Artikel Terkait :

  • Merenda Hari-hari Sulit Merenda hari-hari sulit – Sudah genap 25 tahun Lina menjadi guru. Seorang guru tanpa embel-embel gelar dan prediket guru profesional. Namun… Read More...
  • Papa Milennial Pak Yu sebenarnya belum tepat disebut ‘gaek’ jika menilik usianya sekarang. Kenapa tidak? Usianya baru 52 tahun saat ini namun pak Yu sudah… Read More...
  • Untukmu yang Bukan Siapa siapa Pagi ini rasanya malas sekali tubuh ini beranjak dari tempat tidur. Namun lagi lagi suara itu, memaksaku untuk membuka mata. Mengharuskanku… Read More...
  • Itu Tidak MungkinLiza membelalakkan mata. Bola matanya membulat sembari menatap wajah Supriadi. Terkejut bukan main mendengar ungkapan hati Supriadi barusan.… Read More...
  • Keponakan Ibuk KosDiarman langsung merebahkan tubuh di tempat tidur kecil di kamar kosnya. Kamar kos yang baru disewa dan ditempatinya hari itu. Ada rasa… Read More...